Amelia Hernawan
15/05/2020
Jakarta (06/05/202). Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020, tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Perppu penundaan Pilkada serentak 2020 ini ditandatangani Presiden Jokowi pada Senin (4/5) kemarin.
Perppu Nomor 2 tahun 2020 menjelaskan bahwa apabila sebagian wilayah pemilihan atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, sebagai gantinya dilakukan setelah penetapan penundaan dengan Keputusan KPU.
Namun pilkada serentak di tengah masa pandemi seperti ini cukup banyak titik rawan terjadinya kecurangan-kecurangan. Seperti diketahui bersama paling tidak ada sekitar 200-an daerah kab/kota dari 270 kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada pada bulan desember, Kepala Daerahnya berpeluang maju sebagai calon petahana.
Titik rawannya ada di Perpu no 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara untuk mengahdapi covid-19. Banyak kalangan yang menilai bahwa perpu ini membuka celah lebar penyalahgunaan anggaran oleh kepala-kepala daerah. Aturan dalam perpu no 1 tahun 2020 itu sangat berpotensi merubah wajah Indonesia dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Hal itu ditandai dengan hilangnya hak-hak masyarakat dalam melakukan kontrol sosial terhadap seluruh kebijakan pemerintah yang didasarkan pada Perpu tersebut.
Banyak kasus terjadi di lapangan seperti sulitnya anggota legislatif untuk mengakses penggunaan dana refocusing daerah. Informasi mengenai perolehan dananya dari pos anggaran apa, rencana penggunaan anggarannya seperti apa, dan sejauh mana realisasinya. Beberapa kepala daerah terkesan berlindung pada Perppu No 1 Tahun 2020. Nuansa Perppu tersebut memang memberikan kewenangan bagi eksekutif untuk membuat diskresi khusus soal pengaturan anggaran daerahnya dalam penanganan wabah covid-19 ini.
Hal seperti inilah yang perlu kita cermati bersama, karena dengan kekuasaan anggaran yang minim kontrol, calon-calon petahana sangat mungkin melakukan tindakan yang melewati batas etika. Seperti kampanye terselubung dengan cara mencantumkan nama atau fotonya dalam kemasan-kemasan bantuan, lalu press release yang massive setiap saat meski bernada himbauan atau dokumentasi penyaluran bantuan, dan bermacam modus lainnya.
Baru-baru ini masyarakat diramaikan dengan isu salah satu bupati di jawa tengah yang dinilai memanfaatkan situasi pandemi ini untuk kepentingan pribadinya. Banyak pihak yang menilai beliau melakukan kampanye terselubung untuk kepentingan pilkada kabupatennya yang akan datang.
Memang sulit dipungkiri, biar bagaimana tindakan seperti itu akan sangat menguntungkan bagi siapapun petahana yang memanfaatkan momentum wabah covid-19. Perlu dorongan moral yang kuat dari seluruh lapisan masyarakat agar hal ini tidak terjadi. Begitu juga dengan kepala daerah bersangkutan, seharusnya lebih fokus pada penanganan wabah, untuk sementara lupakan sejenak niat maju untuk periode berikutnya, sehingga dalam membuat kebijakan ataupun menjalankan program lebih fokus pada permasalahan yang terjadi di tengah masyarakatnya, bukan justru mengejar popularitas dirinya sendiri.
Kepala daerah yang berpeluang menjadi petahana memiliki banyak keuntungan dibanding calon penantangnya, baik dari segi waktu sosialisi, penggunaan anggaran, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Jika seperti ini, maka bisa diprediksi komposisi kepala daerah yang daerahnya akan melaksanakan pilkada tidak akan banyak perubahan. Akan sulit bagi para calon penantang untuk mengejar ketertinggalan populartitas, likeabilitas, dan elektabilitas calon petahana.