EnglishIndonesian

Pemilu dan Money Politics: Fenomena Vote Buying di Indonesia

 

Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia diadakan setiap lima tahun sekali. Pada pemilihan umum, warga negara Indonesia yang telah berumur 17 tahun ke atas diminta untuk memilih anggota suatu badan terpilih seperti badan legislatif dan eksekutif. Badan legislatif yang dipilih di antaranya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pada badan eksekutif yang dipilih merupakan Presiden, Wakil Presiden, serta pada Pemilihan tingkat daerah seperti Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, Gubernur dan Wakil Gubernur. Proses pemilu di Indonesia terdiri dari beberapa tahapan dan yang paling menarik adalah masa kampanye pemilu. Kampanye pemilu merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, atau citra diri dari peserta pemilu. Pada masa ini lah sering terjadi penyelewengan kampanye dengan cara yang melanggar aturan, salah satunya dengan menggunakan money politics atau politik uang.

Definisi dari money politics ini sebetulnya masih kabur. Apakah money politics diartikan sebagai pembelian suara dengan menggunakan uang atau barang ataukah money politics diartikan sebagai praktik suap di kalangan lembaga legislatif? Pada tulisan ini, penggambaran money politics akan lebih menekankan pada vote buying atau pembelian suara. Vote buying dipahami dengan alasan dan waktu yang digunakan politikus untuk memenangkan kontestasi pemilu. Vote buying tidak berjalan dengan sendirinya. Vote buying didampingi dengan praktik manipulatif lainnya seperti clientalism atau transaksi pertukaran secara langsung dan bersifat personal dengan memperjual belikan suara dengan uang atau barang.

Fenomena ini terus menerus terjadi dalam setiap pemilihan umum di Indonesia. Berdasarkan hasil dari survei yang kami lakukan pada tahun 2021 dengan topik “Riset Pandangan dan Harapan Masyarakat Terhadap Situasi Sosial dan Politik Indonesia” yang disajikan pada Gambar 1, dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menganggap politik uang sebagai hal yang tidak wajar. Hal tersebut selaras dengan sebaran tanggapan responden terhadap politik uag yang disajikan pada Gambar 2, yaitu sebagian besar responden (42,7%) menyatakan bahwa mereka menolak pemberian tersebut. Sedangkan 36,5% responden yang lain menerima pemberian tersebut, tetapi pemberian tersebut tidak akan mempengaruhi pilihannya. Selain itu, ada 11,6% responden yang menerima pemberian tersebut serta memutuskan untuk memilih calon yang telah memberinya.

Gambar 1. Tingkat Kewajaran Politik Uang Menurut Responden*

 

Gambar 2. Sebaran Respon Masyarakat Terhadap Politik Uang*

Selain itu, hasil temuan dari survei pada Gambar 3 juga menunjukkan bahwa masyarakat lebih suka menerima barang berupa sembako (individual gift) dibandingkan materi lain seperti uang atau pakaian. Pemberian paket sembako umumnya lebih etis dilakukan karena tidak terlihat seperti suap antara kandidat dengan pemilih. Paket sembako lebih identik dengan bantuan sosial seperti yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Pemberian sembako ini merupakan salah satu bentuk pendekatan tim sukses kepada masyarakat agar masyarakat bersedia untuk memilih kandidat pemberi bantuan sembako. Sasaran pemberian sembako ini lebih mengarah kepada masyarakat menengah ke bawah.

Gambar 3. Sebaran Respon Masyarakat Terhadap Politik Uang*

*Source: Indekstat Survey of Community Views and Expectations Regarding the Social and Political Situation Indonesia, conducted in 2021

Sedangkan pemberian uang tunai seringnya terjadi pada beberapa hari sebelum diadakan pemilihan langsung. Pemberian uang tunai ini biasa disebut dengan serangan fajar. Nominal yang diberikan pun beragam dan tidak dapat disamaratakan antara satu kandidat dengan kandidat lainnya. Oleh karena itu masyarakat lebih menyukai pemberian dalam bentuk sembako karena lebih cepat didapatkan, eksplisit, tepat sasaran karena sembako merupakan barang esensial, dan terkadang nominalnya lebih besar dibandingkan uang tunai. Untuk barang lain seperti alat ibadah maupun pakaian tidak terlalu dibutuhkan pemilih karena bukan barang primer seperti sembako.

Meksipun vote buying ini memiliki banyak jenis, tetapi masyarakat masih banyak yang menerima “hadiah” ini dengan bentuk lainnya. Barang yang biasa digunakan dan diterima dengan baik ini adalah sembako. Sembako mungkin terlihat seperti bantuan sosial biasa, tapi fungsi sembako dalam proses penyogokan ini sama dengan serangan fajar pada umumnya. Selain itu, saat selesai melakukan riset mengenai vote buying ini, masyarakat juga masih menerima uang sebagai alat jual beli suara. Meskipun sogokan tidak diperbolehkan dalam agama, namun perlengkapan ibadah juga menjadi salah satu alat yang digunakan untuk membeli suara.

Faktor ekonomi memainkan peran penting dalam mendorong terjadinya fenomena politik uang di Indonesia. Kesenjangan ekonomi yang luas sangat memungkinkan kelompok-kelompok yang memiliki akses terhadap sumber daya finansial yang melimpah dapat dengan mudah memanfaatkan kekayaan mereka untuk membeli dukungan politik atau mempengaruhi hasil pemilihan. Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di beberapa wilayah Indonesia juga berkontribusi pada praktik politik uang. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, pemilih sering kali rentan terhadap imbalan finansial atau bantuan materi sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Politikus memanfaatkan sifat pragmatis masyarakat untuk mempengaruhi pilihannya. Padahal, kebanyakan dari masyarakat hanya menerima segala bentuk pemberian dari politisi, tetapi hal tersebut tidak akan mengubah pilihannya dalam pemilihan umum.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Ini?